TEORI-TEORI STRUKTURALIS
Kaum strukturalis mencoba menyakinkan bahwa pengarang telah “mati” dan wacana sastra tidak memiliki fungsi sesungguhnya. Dalam sebuah esai tahun 1968, Roland Barthes meletakkan pandangan strukturalis itu dengan sangat kuat, dan mengatakan bahwa penulis hanya memiliki kekuatan mencampur tulisan-tulisan yang telah ada sebelumnya, mengumpulkan atau menyusunnya kembali.
Latar Belakang Linguistik
Ferdinan de Saussure mengemukakan tentang objek kajian linguistik. Ia membuat perbedaan yang mendasar antara langue (bahasa) dan parole (ucapan). Langue merupakan aspek kemasyarakatan bahasa; langue adalah sistem yang dimiliki bersama yang (secara tak sadar) kita pergunakan sebagai pembicara. Parole adalah realisasi individual atas sistem dalam contoh-contoh bahasa yang nyata. Pembedaan ini adalah pokok bagi semua teori strukturalis. Objek kajian linguistik yang utama adalah sistem yang mendasari sembarang praktik pemaknaan yang dilakukan manusia, bukan ucapan individual.
Saussure menolak gagasan yang menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah tumpukan kata-kata yang secara berangsur terkumpul sepanjang masa dan fungsi utamanya adalah untuk menerangkan benda-benda di dunia. Dalam pandangannya, kata-kata bukan simbol-simbol yang berhubungan dengan rujukan (referen), tapi lebih merupakan “tanda” yang terbangun dari dua bagian (seperti dua sisi lembaran kertas); tanda, baik tertulis maupun diucapkan disebut “penanda” dan konsep ( apa yang “dipikirkan” ketika tanda dibuat), disebut “petanda” (yang ditandai). Pandangan yang ditolaknya dapat digambarkan demikian:
SIMBOL = BENDA
Model Saussure sebagai berikut:
Penanda /(signifie)
TANDA =
Petanda /( signifian)
“Benda-benda” tidak mempunyai tempat dalam model itu. Unsur-unsur bahasa memerlukan arti bukan sebagai hasil suatu hubungan diantara kata-kata dan benda-benda, tetapi hanya sebagai bagian-bagian sebuah sistem hubungan. Perhatikan skema tanda lampu lalu lintas:
merah-kuning-hijau
penanda (“merah”)
petanda (berhenti)
Tanda bermakna hanya dalam sistem. “Merah=berhenti/hijau=jalan kuning=untuk persiapan merah/hijau”. Hubungan antara penanda dan petanda itu semau-maunya, tidak ada ikatan alami.
Bahasa adalah salah satu diantara banyak sistem tanda. Ilmu tentang tanda dinamakan semiotik atau semiologi. Biasa dipandang bahwa strukturalisme dan semiotik termasuk kedalam teoretis yang sama.
Filosof Amerika C.S. Pierce membuat perbedaan yang berguna diantara tiga tipe tanda:
a. Ikon: tanda menyerupai yang ditunjuk. Misalnya gambar kapal atau tanda jalan (rambu-rambu) mengenai batu-batu jatuh.
b. Indeks: tanda diasosiasikan, mungkin secara kausal, dengan ditunjuk. Misalnya asap sebagai tanda api, atau mendung tanda hujan.
c. Simbol: tanda yang mempunyai hubungan semaunya kepada yang ditunjuk. Misalnya bahasa. Ahli semiotika terkenal adalah Yuri Lotman dari USSR.
Dalam studi strukturalis, perkembangan besar pertama didasarkan pada kemajuan dalam studi fonem (bunyi ujaran yang bermakna). Titik pokok pandangan ini adalah penggunaan bahasa kita yang didasarkan pada suatu sistem, pola pertentangan yang berpasangan, oposisi biner. Kita dapat mengamati “strukturalisme” tipe ini pada karya dalam antropologi Mary Douglas (sebuah contoh yang dipergunakan oleh Jonathan Culler). Ia memecahkan masalah dengan membangun analisis fonemik yang sepadan, sesuai dengan hal itu dua aturan tampak berlaku (1) “binatang yang berkuku belah, memamah biak, adalah makanan yabg cocok bagi seorang penggembala” binatang-binatang yang tidak memenuhi syarat tersebut secara penuh (babi, kelinci, luak karang) adalah tidak bersih; aturan lain diterapkan jika yang pertama relevan: tiap makhluk hendaknya dalam unsur yang secara biologis beradaptasi kepadanya.
Sedangkan pada tingkat yang lebih kompleks, antropolog Claude Levi-Strauss mengembangkan analisis fonemik, mitos, upacara, struktur pertalian keluarga. Sebagaimana ditunjukkan oleh contoh-contoh antropologi ini, kaum strukturalis mencoba mengungkapkan pola “tata bahasa”, “sintaksis”, ataupun “fonemik” sistem makna kemanusiaan tertentu. Begitu pula Barthes membagi “bahasa” pakaian antara “sistem” dan ujaran “(sintagma).
Sistem
“Perangkat pakaian, bagian-bagian/renik-renik yang tidak dapat dipakai pada waktu yang sama, pada bagian badan yang sama, dan yang variasinya berkorespondensi dengan perubahan dalam arti pakaian: toque (topi ma guru)-topi wanita-kerudung, dsb.”
Sintagma
“Penjajaran tipe pakaian yang sama terbuat dari unsur-unsur yang berbeda: rok-blus-jaket”
NARATOLOGI STRUKTURALIS
Teori naratif strukturalis berkembang dari analogi-analogi linguistik dasar tertentu. Sintaksis adalah model dasar aturan naratif. Todorov dan yang lain berbicara tentang “sintaksis naratif”. Pembagian sintaksis yang paling dasar dalam satuan kalimat adalah antara subjek dan predikat: Pahlawan (subjek) membunuh naga dengan pedangnya (predikat). Sehingga kalimat ini dapat menjadi sebuah episode atau bahkan keseluruhan cerita.
Vladimir Proop mengembangkan teori tentang cerita dongeng Rusia. Pendekatan ini membandingkan “subjek” sebuah kalimat dengan tokoh-tokoh yang tipikal (pahlawan, penjahat, dan sebagainya) dan “predikat” dengan tindakan yang tipikal dalam cerita-cerita semacam itu. Sementara itu ada berlimpah-limpah renik yang sangat besar, seluruh korpus cerita itu dibangun atas perangkat dasar yang sama yaitu tiga puluh satu “fungsi”
A.J. Greimas dalam tulisannya Semantique Structurale (1966), menawarkan sebuah penghalusan yang bagus atas teori Proop. Sementara Proop memusatkan pada sebuah jenis tunggal, Greimas berusaha sampai pada “tata bahasa” naratif yang universal dengan menerapkan padanya analisis semantik atas struktur kalimat. Sebagai ganti tujuh “lingkaran tindakan” Proop, ia mengemukakan tiga pasangan oposisi biner yang meliputi keenam actans (peran, pelaku) yang ia perlukan:
Subjek/predikat
Pengirim/penerima
Penolong/penentang
Pasangan-pasangan itu menguraikan tiga pola dasar yang barang kali berulang dalm semua naratif:
1. Kehendak, pencarian, atau tujuan (Subjek/Objek)
2. Komunikasi (pengirim/penerima)
3. Tunjangan yang menyokong atau menghalangi (penolong/penentang)
Sumber:
Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar